Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

05/08/2011

Pria Lebih Banyak Mati Muda daripada Wanita




Pria memang lebih banyak mengambil risiko yang membahayakan bagi kesehatan dan nyawanya. Namun meski faktor-faktor tersebut dihilangkan, faktanya pria lebih banyak mati muda daripada wanita.


Dulu risiko mati muda pria terjadi karena pertempuran atau peperangan. Sementara saat ini risiko mati muda pria karena sering mengambil risiko untuk merespons tantangan yang membahayakan sehingga pria lebih mungkin mati muda daripada perempuan.


Tapi jika faktor darah muda tersebut dihilangkan, seperti dikutip dari PsychologyToday, Jumat (5/8/2011) fakta pendukung yang mencolok tetap ada: Pada setiap usia dan tahap kehidupan, pria lebih cepat mati daripada wanita.


Data tahun 1998 di Amerika Serikat, di antara orang-orang berusia di atas 65 tahun tercatat sebanyak 4.655 pria kulit putih dan 132 pria Afrika-Amerika (kulit hitam atau negro) bunuh diri. Sebaliknya, hanya 902 perempuan kulit putih dan 20 wanita Afrika-Amerika bunuh diri di tahun yang sama.


Kesenjangan gender dalam kematian bukan hanya suatu hal aneh di Amerika Serikat. Sebuah studi baru di 20 negara mengungkapkan bahwa laki-laki berisiko besar mengalami mati muda baik di Irlandia, Australia, Singapura maupun El Salvador. Kesenjangan gender meningkat sejak tahun 1940-an dan telah tumbuh semakin besar dalam beberapa tahun terakhir.


Tidak ada yang yakin mengapa hal itu terjadi. Apakah ada sesuatu tentang kromosom Y yang membuat pria rentan mati muda?


Laki-laki mendapat kromosom X dan Y, sementara perempuan hanya mendapat dua X. Dan X kedua mampu menyediakan duplikasi genetik lebih banyak daripada yang dapat dimuat kromosom Y. Penjelasan genetik atas perilaku yang pria yang rumit itu telah menjadi tren selama sepuluh tahun terakhir, namun tak banyak memberikan hasil yang baik.


Petunjuk yang menarik muncul dari penelitian lain, terutama yang mencakup informasi tentang dukungan sosial. Dukungan sosial diketahui berfungsi untuk mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Pengaruh dukungan sosial sebegitu besarnya sehingga kekurangan dukungan sosial disebut-sebut sebagai penyebab kematian dalam kasus merokok contohnya.


Para peneliti baru-baru ini melihat pemikiran bunuh diri pada orang-orang tua dan menemukan bahwa mereka yang memiliki pikiran bunuh diri cenderung kurang memiliki dukungan emosional dari orang sekitarnya. Mereka juga nampaknya kurang mendapat dukungan yang berasal dari keyakinan spiritual atau agama yang kuat.


Jenis kelamin juga berbeda secara dramatis dalam mendapat dukungan sosial. Alasannya cukup sederhana, pria lebih kompetitif sehingga membatasi dukungan, sedangkan wanita lebih kooperatif. Akibat yang ditimbulkan dari persaingan antara laki-laki bisa seumur hidup. Meskipun pria kadang-kadang mencemoohnya, wanita cenderung mengembangkan jaringan sosial sehingga mereka dapat memanggil teman-temannya pada saat stres. Secara harfiah, hal ini dapat menyelamatkan nyawa.


Telah lama diselidiki bahwa kecenderungan perempuan untuk mencari dukungan sosial mungkin merupakan hasil dari perannya membesarkan anak. Memelihara memiliki definisi kecenderungan untuk membutuhkan orang lain. Apalagi otak manusia dirancang saling terhubung untuk bekerjasama, baik laki-laki ataupun perempuan.


Para ilmuwan di Emory University di Atlanta memindai otak orang-orang dalam situasi di mana mereka bisa memilih untuk bekerja sama atau mendapatkan keuntungan dengan mengkhianati satu sama lain. Scan otak menunjukkan bahwa orang bekerja sama karena rasanya menyenangkan untuk dilakukan.


Ketika mereka melakukannya, mereka mengaktifkan sirkuit saraf yang merupakan bagian dasar dari sistem penghargaan di otak. Sirkuit tersebut adalah sirkuit yang bisa diaktifkan ketika kecanduan narkoba atau mengalami kesenangan lain seperti makan, seks dan mencapai keberhasilan.


"Penelitian kami untuk pertama kalinya menunjukkan bahwa kerjasama sosial secara intrinsik bermanfaat untuk otak manusia, bahkan dalam menghadapi tekanan dan kesenangan," kata penelitian psikiater Gregory S. Berns, MD, Ph.D.


Ini menunjukkan bahwa dorongan altruistik untuk bekerja sama secara biologis telah tertanam, baik diprogram secara genetik atau diperoleh melalui sosialisasi masa kanak-kanak dan remaja.


sumber


(ir/ir)

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger