Terbagi dua sisi, utara dan selatan, ruangan itu tak terurus. Kaca-kaca jendela kedua ruangan itu sebagian besar pecah. Serakan pecahan kaca menambah kotor ruangan yang sepertinya tahunan tak disapu. Persis di depan ruangan, pada sisi berundak, kotoran sapi berserakan. Aroma kotoran sapi terbawa embusan angin pantai, 50 meter sebelah utara.
Kedua ruangan itu merupakan bangunan tribune lapangan sepak bola di Desa Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Lapangan Mato Waru (delapan penjuru mata angin) adalah salah satu dari tiga lapangan di desa itu.
Pada Rabu (16/3) sore, di tengah lapangan, sekumpulan anak muda berseragam dan bersepatu lengkap mengolah si kulit bundar. Menggiring, mengumpan, dan menyundul menjadi menu mereka. Sesekali, lelaki berkalung peluit meneriakkan aba-aba kepada belasan anak muda tersebut untuk berganti gerakan.
Denny, salah seorang warga, menunjuk beberapa rumah di sekeliling lapangan. ”Itu rumahnya Imran Nahumarury. Itu rumahnya Khairil Anwar. Waktu kecil mereka berlatih di sini,” katanya.
Imran Nahumarury sempat bermain di Persib Bandung. Khairil Anwar juga sempat memperkuat Persebaya Surabaya dan akrab disapa Pace. Keduanya pernah masuk tim nasional Indonesia di beberapa ajang internasional.
Saat ini beberapa anak muda asal desa yang terletak sekitar 25 kilometer Kota Ambon juga menjadi calon penerus tim Merah Putih. Sebut saja gelandang muda Persija Jakarta, Ramdani Lestaluhu, yang sempat ikut pelatnas timnas Pra-Olimpiade 2012 di bawah Alfred Riedl, serta Ricky Bardes yang kini di Uruguay mengikuti program Sociedad Anonima Deportiva.
”Desa ini dikenal sebagai desa sepak bola. Ke mana pun kami pergi, selalu dikenal sebagai pemain bola. Kata orang, Tulehu adalah Samba-nya Maluku,” ujar Lutfi, yang pernah memperkuat klub Persiter Ternate.
Bayi ditemani bola
Tidak ada yang bisa menjelaskan secara persis kapan dan mengapa sepak bola bisa sangat mendarah daging bagi warga Negeri Tulehu ini.
”Yang kami tahu, kakek nenek hingga orangtua bermain sepak bola. Semua laki-laki di sini bermain bola. Olahraga ini sudah mendarah daging,” ujar Mohtadi Lestaluhu (57), mantan pemain PS Ambon pada era 1970-an.
Bahkan, saat tidur, setiap bayi selalu ditemani bola kaki di samping kanan dan kirinya. Dalam salah satu upacara adat, saat bayi berusia tujuh bulan juga dikaitkan dengan sepak bola.
”Kaki bayi diolesi rumput lapangan bola yang ditaruh di mangkok atau baskom. Orangtua berharap anaknya menjadi pemain sepak bola saat dewasa,” tutur Rifai Lestaluhu (43).
Lutfi menuturkan, alam, lingkungan, dan masyarakat sekitar mendukung bakat anak-anak Tulehu. Perpaduan gunung dan laut menempa mereka menjadi pesepak bola yang tangguh. Untuk melatih fisik, selain memanfaatkan laut, para pelatih lokal menempa para calon pemain di perbukitan dan hutan yang ada di belakang rumah.
Tidaklah mengherankan jika anak usia lima atau enam tahun yang berasal dari Tulehu sudah bisa menggiring atau juggling bola dengan baik. Sepak bola sudah mendarah daging di diri mereka. ”Tetapi, sampai detik ini kami tidak pernah menerima satu bola pun dari PSSI,” ujar Lutfi yang prihatin dengan pengurus PSSI, yang abai dengan pengembangan sepak bola rakyat. (APA/MHD/ANG)
sumber: http://bola.kompas.com/read/2011/03/18/06334670/Negeri.Tulehu..Negeri.Samba.di.Maluku
0 comments:
Post a Comment